Rabu, 04 Januari 2012

Sepak Bola Kampung dan Sepak Bola Nasional Ternyata Tak Jauh Beda

Akhir tahun lalu, kampung kami memiliki hajatan besar: Kompetisi Sepakbola Antar Dukuh Tingkat Desa Getassrabi. Besar karena kompetisi semacam ini baru pertama kalinya digelar di desaku. Terlebih tujuannya juga besar: menjaring bibit muda sebagai calon punggawa Timdes (Timnas Desa), karena itu kompetisi digelar pada kelompok umur 15 tahun (U-15). Seluruh dukuh di desaku, yang total berjumlah 12 dukuh turut berpartisipasi dan mengirimkan wakilnya. Penonton? Jangan tanya, animonya tak kalah dengan jumlah penonton ketika Timnas berlaga di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Oh ya, Desa Getassrabi merupakan salah satu desa di Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
13256573931267506409
Tim SFC sebelum berlaga pertandingan perempat final di Lapangan Desa Getassrabi
Pada mulanya, kompetisi yang memakai sistem gugur ini berjalan lancar. Penonton yang datang dari hari ke hari terus bertambah, meskipun pertandingan dari kompetisi yang direncanakan berlangsung selama seminggu itu digelar setiap hari. Tak perduli panas ataupun hujan, pemain dan penonton tetap antusias. Sedikit saja penonton meninggalkan lapangan ketika hujan, termasuk pemain terus bermain meskipun hujan deras. Ah, tentu saja, mana ada pemain meninggalkan lapangan ketika pertandingan belum usai?
Dukuhku, Srabi Kidul, sangat antusias menyambut turnamen ini. Tim kami bernama SFC (Srabi Football Club). Tim pelatih terdiri darianak muda yag gemar bermain dan menonton sepakbola (kebetulan aku salah satu diantaranya). Kami pun menggelar seleksi pemain, dan benar-benar memperhatikan usia pemain yang hendak didaftarkan sebagai peserta kompetisi. Karena kompetisi digelar sore hari, maka kami berlatih pada pagi hari.
Jarak lapangan dengan dukuh kami yang mencapai 2 km, tak menjadi halangan bagi mereka untuk mengasah kemampuan dan kekompakan. Setiap kali berlatih, anak-anak ini berlari riang secara kompak dari dukuh ke lapangan. Tanpa ada beban, tapi dengan optimisme tinggi mereka berlatih dan meningkatkan kekompakan.
Tibalah saat pertandingan, laga pertama berjalan sulit meskipun akhirnya kami menang tipis dan melaju ke perempat final . Pertandingan selanjutnya relatif mudah, dan kami terus melaju hingga final. Partai semifinal juga berlangsung relatif mudah dan kami melaju ke final. Meskipun lawan kami di semifinal berubah dari calon lawan semula (semula Modinan ganti Babatan). Disitulah awal mula kisruh kompetisi yang tadinya menebar optimisme dan keceriaan seluruh warga desa kami ini.
Kisruh bermula dari hasil pertandingan perempat final antara dukuh Babatan vs Modinan, yang berakhir dengan skor 0-1 untuk kemenangan Modinan. Sehari setelah pertandingan, Babatan protes karena menganggap ada pemain ilegal dan pencurian umur dari dukuh Modinan sehingga meminta diadakan pertandingan ulang partai perempatfinal tersebut. Protes ternyata dikabulkan panitia, namun dukuh Modinan menolak pertandingan ulang dan memilih mundur dari kompetisi. Sehingga di partai semifinal kami menghadapi Babatan bukan Modinan. Partai tersebut berkesudahan 4-0 untuk kemenangan SFC.
Ternyata, Modinan tak sepenuhnya menerima. Ketika digelar semifinal kedua, Modinan protes terhadap keputusan panitia hingga pertandingan semifinal kedua ditunda hingga ditemukan solusi atas permasalahan itu. Melihat adanya protes yang dikabulkan panitia, tim-tim lain pun mengajukan protes serupa dengan alasan pencurian umur dan ruwetnya pengelolaan kompetisi. Akhirnya, kompetisi menjad semakin kisruh.
Pertemuan dan mediasi digelar oleh panitia untuk mencari titik temu, namun ofisial tim tak pernah mencapai kata sepakat dengan hasil pertemuan yang sudah digelar beberapa kali. Akhirnya seluruh ofisial tim sepakat bahwa kompetisi diakhiri dan tak lagi dilanjutkan.
Terlepas dari situasi itu, siapakah yang menentukan pemain yang hendak didaftarkan sebagai peserta? Ofisial. Siapakah yang melakukan protes hingga akhirnya kompetisi dihentikan? Ofisial. Dan siapakah yang tidak mampu mengelola kompetisi dengan baik? Panitia. Siapa mereka? Ternyata orang dewasa seperti kita. Siapa yang menjadi korban? Pemain yang masih berusia belia dan menikmati sepakbola sebagai permainan tanpa peduli urusan non teknis pun menjadi korban.
Rasanya hal ini tak jauh beda dengan ricuhnya pengelolaan sepakbola di negara kita. Tak perlulah disebutkan bagaimana kericuhan itu, tapi pada prinsipnya sama: yang menjadi korban adalah pemain dan masa depan sepakbola itu sendiri…


sumber :

Tidak ada komentar: